Judul: Jatuh Cinta adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri
Penulis: Bernard Batubara
Tebal: 300 hlm.
Terbit: 2015
Penerbit: GagasMedia
ISBN: 9797807711
“Aku tidak bersepakat dengan banyak hal, kau tahu. Kecuali, kalau kau bilang bahwa jatuh cinta adalah cara terbaik untuk bunuh diri.
Untuk hal itu, aku setuju.”
Kebanyakan orang lebih senang menceritakan sisi manis dari cinta.
Sedikit sekali yang mampu berterus terang mengakui
dan mengisahkan sisi gelap cintanya.
Padahal, meski tak diinginkan, selalu ada keresahan
yang tersembunyi dalam cinta.
Bukankah kisah cinta selalu begitu?
Di balik hangat pelukan dan panasnya rindu antara dua orang,
selalu tersimpan bagian muram dan tak nyaman.
Sementara, setiap orang menginginkan cinta yang tenang-tenang saja.
Cinta adalah manis. Cinta adalah terang. Cinta adalah putih.
Cinta adalah senyum. Cinta adalah tawa.
Sayangnya, cinta tak sekadar manis. Cinta tak sekadar terang.
Cinta tak melulu tentang senyum dan tawa. Ini kisah cinta yang sedikit berbeda.
Masih beranikah kau untuk jatuh cinta?
REVIEW:
Seperti yang kita ketahui, buku ini berisi kumpulan cerpen karya Bernard Batubara. Buku ini berisi 15 cerpen. Cerpen pertama berjudul ‘Hamidah Jangan Keluar Rumah’ disusul cerpen penutup ‘Jatuh Cinta adalah Cara Terbaik Untuk Bunuh Diri.’
Hanya saja, yang akan aku bahas ‘hanya’ cerpen favoritku: [No particular Order]
1. Seorang Perempuan di Loftus Road.
“Kadang, aku masih memikirkanmu.” Katanya.
Sayangnya, kadang tidak cukup bagiku. Jika ia adalah sesuatu atau seseorang yang layak aku tunggu, ia tidak akan memberiku hanya sebuah kadang, Kata itu merendahkan usaha dan meremehkan seluruh kerja keras penantianku. Aku tidak ingin mencintai seseorang yang memberiku kadang.
Menceritakan tentang seorang perempuan yang telah menjelma menjadi pohon. Pohon di Loftus Road. Perempuan itu menjelma menjadi pohon karena telah menanti kian lama.
2. Bayang-bayang Masa Lalu
Kau akan dikutuk menjadi tua dan tak bisa mati sebab kau mencintai manusia yang berseteru dengan kaummu sendiri. Kau akan terus hidup untuk menyaksikan semua yang kau cintai mati dan meninggalkanmu sehingga kau akan menyesal telah menentang kaummu, keluargamu.
Ainun, dulunya adalah seorang kembang desa. Banyak lelaki yang menyukainya. Hanya saja, Ainun malah jatuh hati kepada Subairi, seorang pengumpul ilalang. Suatu ketika, Subairi dituduh dan diancam warga desa untuk di bunuh. Bukan ancaman tak beralasan, Subairi telah kepergok ‘mau’ memperkosa seorang gadis. Tentu saja, Ainun tidak percaya, karena Ainun pikir, Subairi bukanlah orang yang tega berbuat hal se-laknat itu. Belum lagi, Subairi mengatakan pada Ainun bahwa bukan ia yang berbuat, tapi temannya. Tentu saja, Ainun sangat percaya kepada Subairi.
Hanya saja, kepercayaan Ainun pada Subairi disalahgunakan oleh Subairi.
Maka, karena dianggap telah menentang kaum sendiri dan lebih memilih untuk mencintai manusia yang berseteru dengan kaumnya, Ainun dikutuk menjadi tua dan tidak bisa mati selamanya oleh mbak Yati, wanita tua dan dukun di kampungnya waktu itu.
Kini, saat usianya 709 tahun, Ainun mulai mengetahui hal-hal yang seharusnya ia tahu waktu itu. Dan kini… Ainun sangat menyesali keputusannya itu.
3. Orang yang Paling Mencintaimu
Hanya orang yang paling mencintaimu, yang mampu membunuhmu.
Kala itu, ia hanya berusia sembilan tahun. Dan kala itu, saat di usia sembilan tahun, ia menjadi saksi tunggal pembunuhan ibunya. Ibunya bukan di bunuh orang lain. Ibunya di bunuh oleh orang terdekat mereka. Ibunya di bunuh oleh ayahnya sendiri.
Lalu, ia memutuskan untuk pergi dari rumah. Ia lalu bertemu seseorang. Seseorang yang sangat mirip dengan ibunya, umurnya pun hampir setara dengan ibunya. Nama wanita itu adalah… Miranda.
Miranda orang yang bersih, rajin membakar sampah, mirip dengan ibunya. Entah kenapa, ‘kemiripan’ itu membuatnya mencintai Miranda.
Miranda mempunyai obsesi yang aneh, selalu membunuh semua pria yang habis tidur dengannya.
Mengapa aku menembak mati Miranda yang aku cintai? Mengapa Miranda menghabisi nyawa laki-laki yang ia setubuhi? Jika Miranda menyetubuhi laki-laki itu, bukankah artinya ia mencintainya? Mengapa ia membunuh laki-laki yang ia cintai?
………………
Jika ia mencintaiku, apakah suatu hari nanti ia juga akan membunuhku? Apa sebenarnya ia tidak mencintaiku? Mungkin karena itu aku ingin membunuhnya. Mungkin aku tak ingin mengakui Miranda tidak membunuhku karena ia tidak mencintaiku.
4. Nyctophilia
Nyctophilia artinya orang yang akan menemukan rasa nyaman dalam kegelapan. Bahkan, mencintai kegelapan.
Sama seperti judulnya, tokoh dalam cerita ini, Jamelia, adalah orang yang menyukai kegelapan. Tidak, bukan! Ia bukan seorang pengidap Nyctophilia. Hanya saja, ada suatu rahasia yang ia sembunyikan. Kegelapan akan membantunya merahasiakan rahasianya. Karena di dalam kegelapan, kau tidak akan melihat apa-apa.
5. Menjelang Kematian Mustafa
Adalah MustAfa bin Meksum, dengan masa kecil sebagai orang melarat. Hanya menanti untuk dibagi sembako dan orang-orang dari partai yang membagikan amlop dan kaos.
Kemudian, suatu ketika, seorang pria bercerutu menawarkan Mustafa hal yang paling ia inginkan: uang.
Sejak kehadiran pria bercerutu itu, kehidupan Mustafa berubah. Mustafa memiliki hal yang paling ia inginkan. Kemudian, hidup Mustofa hanya dipenuhi dua hal: perintah dan uang. Melakukan perintah dan mendapatkan uang.
Perintah untuk Mustafa adalah membunuh.
Sejak saat itu, Mustafa diajari untuk membunuh.
Kenapa Menjelang Kematian Mustafa?
Karena, inti dari cerita ini adalah menjelang kematian Mustafa. Di saat umurnya sudah 69 tahun, sudah tua renta dan lemah, seorang anak muda menodongkan pistol ke kepala Mustafa. Pemuda itu menanyakan kata-kata terakhir yang ingin diucapkan Mustafa. Lalu, mengalirlah cerita demi cerita dari mulut Mustafa. Tentang korban pertamanya, teman pembunuhnya, dan kehidupan masa kecilnya hingga di tolong oleh pria bercerutu.
“Tidak, Anak muda, aku tidak membunuh karena itu. Aku membunuh karena membutuhkan uang.”
“Bohong. Setelah kau banyak uang, toh, kau tetap membunuh.”
“Itu karena aku sudah tak bisa lagi melepaskannya dariku, atau melepaskan diriku darinya.”
“Membunuh?”
“Yah. Saat kau sudah terbiasa dengan sesuatu, melepaskan kebiasaan itu akan menjadi lebih sulit ketimbang menghabisi nyawa seratus orang.”
6. Jatuh Cinta adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri
Cerpen ini dijadikan judul dari buku ini. Cerpen ini juga merupakan cerita penutup dari buku ini.
“Aku tidak bersepakat dengan banyak hal, kau tahu. Kecuali, kalau kau bilang bahwa jatuh cinta adalah cara terbaik untuk bunuh diri.
Untuk hal itu, aku setuju.”
Menceritakan seorang pria berumur 17 tahun. Sebenarnya, pemuda itu merupakan seorang malaikat yang tinggal di bumi. Sudah sejak lama malaikat itu ingin kembali ke langit, ke tempat asalnya. Dan… saat ia bertemu dengan perempuan bernama Rahayu, ia ingin tinggal di bumi satu hari lagi
Karya pertama Bernard Batubara yang aku baca berjudul Cinta. (Baca pakai titik) dan jujur, aku 10 kali lipat lebih menyukai buku ini daripada Cinta. Dengan alasan yang logis tentunya. Hal yang ingin diungkapkan penulis tidak bertele-tele (mengingat bahwa buku ini merupakan kumcer). Tidak seperti pada Cinta., mau mengungkapkan rasa ‘cinta’ pun harus ditulis dengan paragraf yang panjang. Dan, bukannya kita mendapatkan feel ‘rasa cinta’ tersebut, yang aku dapatkan: ‘kebosanan’ dan ‘Kapan paragraf sedemikian rupa ini berakhir? Sangat membosankan’
Jujur saja, kisah-kisah cinta yang penulis ungkapkan di sini sangat heart-warming. Bukan hanya cerita cinta yang dilihat dari satu sisi. Tapi dilihat dari banyak sisi. Kisah manis, perih, sisi gelap dan kelam. Kau akan menemukan semua cerita dengan kisah begitu di buku ini. 15 cerita dengan topik, tema, konflik yang berbeda satu sama lain. Kesamaannya hanya pada seberapa kelam cerita tersebut.
Aku tidak begitu menyukai cerpen, biasanya begitu. Karena itu, aku jarang sekali membaca cerpen. Kenapa begitu? Aku pernah beranggapan seperti ini ‘Kau akan melupakan keseluruhan cerita secepat kau membacanya.’ Kita tahu bahwa cerpen adalah cerita pendek yang akan kita baca hanya dalam waktu tidak lebih dari tiga puluh menit (tergantung tingkat kecepatan membaca para pembaca). Dan… itu adalah waktu yang sangat singkat. Seringkali, aku selalu melupakan cerita-cerita yang aku baca dengan cepat. Tapi, di sini kasusnya berbeda. Aku menemukan ‘permata yang baru ditemukan’ dalam buku ini. Lalu, aku menyadari satu hal: Kau akan mengingat sebuah cerita bukan karena dalam proses membaca, kau cukup lama menyelesaikannya. Tapi, kau akan mengingat sebuah cerita karena kau menemukan sesuatu yang membuatmu ‘terperangah’.
Sejujurnya, aku membaca buku ini satu minggu atau dua minggu yang lalu. Karena aku ‘super’ sibuk minggu lalu (dan minggu ini), aku tidak sempat ‘menuliskan’ review dari buku ini. Biasanya, meskipun masih ingat dengan ‘inti cerita’, aku tetap akan mulai melupakan plot sepanjang cerita. Hanya saja, Entah kenapa aku mengingat plot cerita dari cerpen-cerpenf favoritku (mungkin karena cerpen kali ya, jadi plotnya tidak begitu luas)
Jadi, mari kita bahas tentang covernya. Covernya ‘super-duper’ simpel. Dengan latar ungu yang memberikan kesan kelam, disertai judul yang ukuran font raksasa; JATUH CINTA ADALAH CARA TERBAIK UNTUK BUNUH DIRI. Sejauh ini, aku ‘cukup’ menyukai cover ini. Singkat kata, cover ini tidak buruk rupa.
Overall, aku merekomendasikan buku ini untuk kalian semua yang ingin merasakan tentang cerita cinta yang lain daripada yang lain.
Ratings: 4 of 5 Stars.
Jika biasanya Reading Challenge diselenggarakan dalam waktu satu tahun, sesuai dengan judulnya, Reading Challenge kali ini hanya diselenggarakan dalam 100 hari. Mulai 1 Maret sampai 8 Juni 2015.
Cakupan buku yang dibaca semua genre, boleh kumpulan cerpen. Hanya saja, sesuai dengan judulnya ‘Asian’, buku yang di baca harus ditulis oleh penulis Asia atau setting-nya di Negara Asia.
Mau ikutan Reading Challenge ini? Klik Lust and Coffe untuk info yang lebih lengkap!
Judul: Rintik Tawa
Penulis: Rosa Amanda Salim
Penerbit: Elex Media Komputindo
Terbit: 2014
Tebal: 344 hlm.
ISBN: 9786020251042
Jelita merasakan pedih yang luar biasa di saat sang kakak, Jericho, meninggal akibat kecelakaan. Jelita merasa meninggalnya sang kakak akibat dari kelalaian para dokter yang menangani kakaknya. Belum lagi keberadaan sang ayah yang merupakan dokter senior, membuatnya semakin membenci para dokter yang bisa menyelamatkan nyawa pasiennya. Jelita menyimpulkan bawah ini adalah pembunuhan. Dia bertekad untuk menjadi seorang dokter dan menemukan pembunuh kakaknya.
Bima yang mengetahui kepedihan hati Jelita selalu hadir menemaninya. Bersama-sama mengambil sekolah kedokteran dan koas di wilayah yang sama. Tapi apa jadinya kalau Bima menyukai perempuan lain. Belum lagi kehadiran Dokter Edmund yang menghukumnya dengan alasan konyol. Bisakah Dokter Edmund mengisi kekosongan hati Jelita?
REVIEW:
Jelita memiliki ambisi untuk menjadi dokter. Ia berambisi menjadi dokter bukan karena ayahnya yang juga merupakan dokter. Jelita memiliki ambisi untuk menjadi dokter bukan karena ia menyukai profesi itu, sebaliknya, Jelita membenci orang-orang yang berprofesi dokter. Menurut Jelita, dokter adalah seorang pembunuh. Karena kelalaian seorang dokter, Jelita harus kehilangan kakak satu-satunya, selamanya.
Kematian dan kehilangan itu menyakitkan sekali. Benar-benar menyakitkan. Tetapi tidak mungkin menghidupkan kembali orang yang sudah mati. Maka itu, saya hidup untuk menghilangkan rasa sakit akibat kehilangan. Juga untuk menghilangkan sakit orang lain karena kematian,”
Jika dilihat dari segi tema, tema yang diangkat sudah ‘cukup’ baik, temanya nggak mainstream. Hanya saja, aku kurang puas dengan Plotnya. Ada beberapa bagian yang aku rasa terlalu simpel dan tidak masuk akal. Mengapa Jelita menyalahkan dokter?, padahal harusnya Jelita menyalahkan teman kakaknya, Jericko. (Jericko masuk rumah sakit karena kecelakaan adu balap). Lalu, di bagian ‘Ayah Jelita cenderung dingin dan membenci Jelita’ (meskipun hidup dalam satu rumah, mereka tidak saling berinteraksi, Ayahnya sibuk bekerja, pulang-pun tidak bertegur sapa). Belakangan yang aku ketahui, kasus ‘Ayah Jelita cenderung dingin dan membenci Jelita’ berawal karena Ayahnya ‘menyalahkan’ Jelita atas kematian istrinya. (Ibu Jelita meninggal gara-gara melahirkan Jelita). Nah, persoalan ini membuat aku sedikit ‘bahhhhhh…’ Kenapa? Ayah Jelita merupakan seorang dokter spesialis Anestesi. Seorang dokter harusnya punya pikiran yang lebih baik daripada orang lain. Bagaimana bisa seorang dokter dengan ‘pikiran pendeknya’ mem-blame kelahiran anaknya sendiri? Gawd.
…… Begitu juga jam-jam yang sama di hari berikutnya. Praktis, Jelita telah lelah luar biasa secara fisik.
Setelah menemukan cangkir dengan motif paling netral di antara yang lain, Lily mengisinya dengan air mendidih. Dicarinya bubuk susu di salah satu lemari. Tetapi tak ada bubuk berwarna putih di sana.
…………. Sekali lagi Lily mengerjap-ngerjapkan matanya. Tak mau ambil pusing, Lily mengambil kedua toples itu.
……. Susu atau kopi ya tadi? Jelita tak yakin. ….
Sebenernya, aku itu tipe pembaca yang nggak terlalu perhatian dengan keberadaan typo di dalam suatu cerita. Typo seperti: kesalahan spasi dan huruf masih bisa aku toleransi. Tapii…. kalo typonya udah parah bangettttt…. seperti: PERBEDAAN NAMA TOKOH… itu baru aku nggak bisa toleransi.
(lihat cuplikan singkat di atas) Nama tokoh utamanya: Jelita. Lalu kenapa tiba-tiba ‘berganti nama’ ke Lily? Perbedaan nama Jelita dan Lily itu jauh banget!! Setelah kurang lebih enam baris mengganti ‘nama’, Lily(?) pun kembali bernama Jelita. -_- Ternyata, setelah aku telusuri lebih lanjut, ternyata buku ini nggak ada proofreadernya, cuma editor doang.
Jika kalian adalah pembaca yang cukup jeli. Kalian akan menemukan perbedaan pengucapan nama pada Blurb dan pada reviewku. Ya, Jericho pada blurb buku dan Jericko di reviewku. Nama yang benar adalah: Jericko, artinya: BAHKAN TYPO PUN TERDAPAT PADA BLURB BUKU. Whatttttt….
Tentu saja buku ini memiliki ‘sedikit’ kelebihan.
Dalam upaya mendalami cerita ini, penulis menyertakan banyak istilah kedokteran agar para tokoh-tokohnya terasa ‘benar-benar’ dokter. Aku sampai dibuat terkesan oleh kemahiran penulis dalam menuliskan sebuah scene operasi. Lalu, saat aku membaca biografi penulis di cover belakang buku ini, ternyata penulis memang merupakan dokter. Pada akhirnya, aku kira penulis lebih cocok jadi dokter 😀
Ratings: 1.5 of 5 Stars