Judul: Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas
Penulis: Eka Kurniawan
Penerbit: Gramedia
Terbit: Cetakan keempat, Mei 2016
Tebal: 250 hlm.
ISBN: 9786020324708
Di puncak rezim yang penuh kekerasan, kisah ini bermula dari satu peristiwa: dua orang polisi memerkosa seorang perempuan gila, dan dua bocah melihatnya melalui lubang di jendela. Dan seekor burung memutuskan untuk tidur panjang. Di tengah kehidupan yang keras dan brutal, si burung tidur merupakan alegori tentang kehidupan yang tenang dan damai, meskipun semua orang berusaha membangunkannya.
“Whatever he chooses to write will be well worth reading.”
—Jon Fasman, The New York Times
“Wrapped in a Chinese kung fu-styled novel and almost as brutal and dark as Chuck Palahniuk’s Fight Club, Eka has maintained his place on the frontlines of Indonesian writers.”
— Adisti Sukma Sawitri, The Jakarta Post
“Dalam Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, Eka menulis dengan semangat bermain-main yang cerdik dan lihai.”
— Anton Kurnia, Jawa Pos
“Eka piawai menyisipkan makna yang tertebar di sana-sini.”
— Heri CS, Suara merdeka
“Seperti dua novel Eka sebelumnya, novel ini dipenuhi tokoh-tokoh dengan karakter yang ‘tidak waras’. Ketidakwarasan tokoh-tokohya, di luar motif hasrat seks yang menggerakkan mereka, juga menjadi cermin dari ketidakwarasan zamannya.”
— Aris Kurniawan, Koran Tempo
“Dialog dengan ‘kemaluan’ jadi ruang permenungan, melahirkan keyakinan-keyakinan tak biasa.”
— Widyanuari Eko Putra, Kompas
REVIEW:
Ajo Kawir dan Si Tokek menyaksikan hal yang nggak mereka sangka: Rona Merah, ‘perempuan gila yang memiliki tubuh bagus’ (kata si Tokek) diperkosa oleh dua orang polisi. Dan karena ‘kelalaian’ Ajo Kawir dalam menjaga keseimbangan tubuhnya, Ajo Kawir berakhir pada: kepergok nonton!
Maka, sejak saat itu, ‘burung’ Ajo Kawir tidak pernah bangun lagi, tidur sepanjang waktu. Hal tersebut membuat Ajo Kawir sangat depresi, ia telah mengusahakan cara apapun untuk membuat burungnya terbangun, tapi berakhir pada hal yang sama: gagal.
Maka, sebagai sahabat, si Tokek memberi pencerahan pada Ajo Kawir: biarin, lagian belum perlu dipakek (iya, saat itu si Tokek dan Ajo Kawir masih bocah)
Kemudian, saat Ajo Kawir beranjak remaja, ia jatuh cinta pada seorang gadis: Iteung.
Dari sana, Ajo Kawir kembali dihadapi oleh hal-hal yang ditakutinya. Ajo Kawir juga dihadapi dengan pilihan pelik dalam hidupnya. Keluar masuk penjara, masalah rumah tangganya, … kehidupan yang brutal dan keras..
“Jika aku mati,” kata Ajo Kawir, “Urusanku dengan gadis itu selesai. Aku akan melupakan Iteung, untuk selamanya. Dan aku pun tak harus menderita karena kemaluanku yang tak bisa berdiri.”
“Aku tak suka kamu mati.”
“Aku juga tidak. Maka aku tak akan mati.”
Ini adalah kali kedua aku membaca buku karya penulis ini, kali pertamanya adalah kumpulan cerpen Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta melalui Mimpi. Dan sampai saat ini, aku masih terkejut akan ‘gaya bahasa’ yang digunakan penulis. Terlalu ceplas-ceplos, terlalu vulgar. Tema yang diangkatpun tergolong aneh, nama tokoh yang aneh.
Jujur saja, penulis sangat ahli dalam membagi alur. Alur yang diangkat adalah Alur Campuran, maju-mundur. Yang membuat aku kagum adalah keahlian penulis dalam ‘memisahkan’ setiap kejadian dengan alur maju-mundur tanpa membuat pembaca bingung (satu-satunya hal yang membuat aku bingung adalah nama tokohnya! haha)
Disisi lain, Bab pembuka Kata pembuka dalam buku ini sangat menjanjikan bagi aku.
Bagaimana tidak? (kalau katanya begini:
“Hanya orang yang enggak bisa ngaceng, bisa berkelahi tanpa takut mati,”
Sebenarnya, aku merasa ‘sedikit’ bersalah karena membaca buku ini, berhubung karena aku masih remaja dan soon-to-be-adult. Dan yah, sebagai ‘pembelaan diri’, aku membeli buku ini melalui online shop dan di bagian sinopsisnya nggak tertera kalau buku ini 21+ dan berhubung saat aku membaca Kumcer terdahulu, katanya nggak gini-gini amat.
Tapi, dibalik segala scene dan kata-kata yang vulgar, entah kenapa membaca buku ini membuat aku seperti: menemukan permata yang hilang. Tema yang nggak biasa, tokoh yang nggak biasa, alur yang ah-mazing (menurutku), dan tentu saja: judul buku yang ‘untungnya’ pada bab-bab akhir ada disebutkan keterkaitan secara langsungnya.
Tokoh dalam cerita ini juga tergolong banyak. Ada si Macan, Mono Ompong (yang muncul di bab-bab akhir, si Tokek, Paman Gembul, Jelita (orangnya nggak secantik namanya, kata Ajo Kawir), Wa Sami (yang jarang muncul), juga Iwan Angsa (yang aku sebut: Tega! ) juga tokoh-tokoh antagonis lainnya.
By the way, selain si Tokek, Iwan Angsa juga merupakan orang yang mengetahui perihal tentang ‘burung’ Ajo Kawir. Maka, seperti si Tokek, Iwan Angsa juga turut membantu Ajo Kawir untuk ‘membangunkan burungnya’. Hanya saja, Iwan Angsa membantu dengan cara yang agak ekstrim: membawa Ajo Kawir ke pelacuran! #spoilerdikit
“Aku tak mungkin mati karena perkelahian,” katanya lagi kepada si Tokek, dengan nada menyedihkan. “Tapi barangkali aku akan mati karena perasaan rindu yang menyesakkan ini.”
Overall, aku sangat menyukai ‘ide cerita’ dari buku ini, sangat menarik tapi aneh. Aku juga suka cara penyampain cerita oleh penulis (jika kata-kata erotis/vulgar dihilangkan/ tapi mungkin bakal aneh, bener?) Aku juga menyukai judul dari buku ini, beneran! bikin baper! Cover yang simpel tapi ‘memuat’ makna yang dalam….
Tokoh-tokoh sampingan yang kadang hanya ‘numpang nama’ tapi turut berperan dalam kelangsungan cerita. Si Macan, Jelita…
FIX! Cantik Itu Luka masuk ke TBR yang HARUS PUNYA!